Panglima Sudirman
Lahir dari keluarga petani kecil, didesa Bondaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya seorang mandor tebut pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat)di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Ketika ia menjadi seorang panglima, Soedirman adalah seorang yang ditakuti lawan dan disenangi kawan. Memiliki semangat berdakwah yang tinggi, dan lebih banyak menekankan pada ajaran tauhid, kesadaran beragama serta kesadaran berbangsa.
Seorang jendral yang sholih , senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fisabilillah. Dan ini ia tanamkan kepada anak buahnya , bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihat tersebut, baik dikalangan tentara ataupun seluruh rakyat indonesia, jendral besar ini menyebarluaskan pamflet atau selebaran yang berisikan saruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan belanda dengan mengutip salah satu hadis Nabi. “Insjafilah ! Barang siapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toerot berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafekan.”
Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh Rusulullah saw. Sewaktu berapda di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap didesa Sukarame , Panglima Beasar Soedirman yang memiliki naluri seorang penjuang , menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukan nya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran , sebagaimana yang dilakukan Rasulullah beserta para sahabatnya saat akan berhijrah.
Setelah shalat subuh, Pak Dirman yang memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah didesa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya, Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Soedirman. Dan sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya momborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam , dan ini membuktikan betapa seorang Panglima sekaligus dai ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.
Sebuah perjuangan yang penuh dengan keteladanan, baik untuk menjadi pelajaran dan contoh bagi kita semua, anak bangsa. Perjalanan panjang seorang dai pejuang yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya melainkan berbuat dan berkata hanya untuk rakyat serta bangsa tercinta. Penykit TBC yang diderita , tidak menyusutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya, 38 tahun, Panglima Besar Jendral Soedirman yang dicintai rakyat menutup hidupnya tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Bangsa ini mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari umat dan selalu berjalan seiring untuk kepentingan umat
Lahir dari keluarga petani kecil, didesa Bondaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya seorang mandor tebut pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat)di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Ketika ia menjadi seorang panglima, Soedirman adalah seorang yang ditakuti lawan dan disenangi kawan. Memiliki semangat berdakwah yang tinggi, dan lebih banyak menekankan pada ajaran tauhid, kesadaran beragama serta kesadaran berbangsa.
Seorang jendral yang sholih , senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fisabilillah. Dan ini ia tanamkan kepada anak buahnya , bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihat tersebut, baik dikalangan tentara ataupun seluruh rakyat indonesia, jendral besar ini menyebarluaskan pamflet atau selebaran yang berisikan saruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan belanda dengan mengutip salah satu hadis Nabi. “Insjafilah ! Barang siapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toerot berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafekan.”
Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh Rusulullah saw. Sewaktu berapda di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap didesa Sukarame , Panglima Beasar Soedirman yang memiliki naluri seorang penjuang , menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukan nya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran , sebagaimana yang dilakukan Rasulullah beserta para sahabatnya saat akan berhijrah.
Setelah shalat subuh, Pak Dirman yang memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah didesa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya, Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Soedirman. Dan sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya momborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam , dan ini membuktikan betapa seorang Panglima sekaligus dai ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.
Sebuah perjuangan yang penuh dengan keteladanan, baik untuk menjadi pelajaran dan contoh bagi kita semua, anak bangsa. Perjalanan panjang seorang dai pejuang yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya melainkan berbuat dan berkata hanya untuk rakyat serta bangsa tercinta. Penykit TBC yang diderita , tidak menyusutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya, 38 tahun, Panglima Besar Jendral Soedirman yang dicintai rakyat menutup hidupnya tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Bangsa ini mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari umat dan selalu berjalan seiring untuk kepentingan umat
Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan Aceh . dari garis ayahnya, Cut Nyak Dien merupakan keturunan langsung Sultan Aceh. Ia menikah dengan Tengku Ibrahim Lamnga pada usia masih belia tahun 1862 dan memiliki seorang anak laki-laki.
Ketika perang Aceh meluas tahun 1873, Cut Nyak Dien memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap. Setelah bertahun-tahun bertempur, pasukannya terdesak dan memutuskan untuk mengungsi kedaerah yang lebih terpencil. Dalam pertempuran di Sela Glee Tarumn, Teuku Ibrahim gugur.
Kendati demikian, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan dengan semangat berapi-api. Kebetulan saat upacara penuburan suaminya, ia bertemu dengan Teuku Umar yang kemudian menjadi suami sekaligus rekan perjuangan .
Bersama mereka membangun kembali kekuatan dan menghancurkan markas Belanda disejumlah tempat. Namun, ujian berat kembali dirasa ketika pada 11 Februsri 1899, Teuku Umar gugur. Sementara itu, Belanda yang tahu pasukan Cut Nyak Dien melemah dan hanya bisa menghindar serta terus melakukan tekanan.
Akibatnya, kondisi fisik dan kesehatan Cut Nyak Dien menurun, namun pertempuran tetap ia lakukan. Melihat kondisi seperti itu, panglima perangnya , Pang Laot Ali, menawarkan menyerahkan diri ke Belanda. Tapi Cut Nyak Dien malah marah dan menegaskan untuk mterus bertempur.
Akhirnya, Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan untuk menghindari pengaruhnya terhadap masyarakat Aceh, ia diasingkan ke Pulau Jawa tepatnya ke Sumedang, Jawa Barat. Ditempat pengasingannya, Cut Nyak Dien yang sudah renta dan mengalami gangguan penglihatan, mengajar agama. Ia tetap merahasiakan jati diri sampai akhir hayatnya.
Ia wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Sumedang. Makamnya baru diketahui secara pasti pada tahun 1960 kala Pemda Aceh sengaja melakukan penelusuran. Perjuangan Cut Nyak Dien membuat seorang penulis Belanda, Ny Szekly Lulo, kagum dan menggelarinya “Ratu Aceh”.
Posting Komentar